Fitur yang kedua, adalah Presensi Berbasis AI. Teknologi terbaru ini meningkatkan kecepatan dan ketepatan presensi dengan mencocokkan wajah mahasiswa dengan data yang ada di database. Jadi mahasiswa dan dosen tidak perlu repot mengelola presensi dengan cara tanda tangan manual atau input data di suatu website. Cukup scan wajah, maka telah terdeteksi hadir suatu perkuliahan.
Fitur yang ketiga, SPMI, diluncurkan Sevima untuk memudahkan perguruan tinggi dalam melaksanakan dan memantau siklus kegiatan SPMI.
Tersedia panduan empat dokumen penjaminan mutu, integrasi dengan sistem informasi akademik, dukungan evaluasi untuk kegiatan audit mutu internal, dan fitur laporan implementasi SPMI untuk kebutuhan pelaporan ke Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
“Dengan demikian, SEVIMA Platform kami harapkan dapat hadir sebagai solusi berbasis layanan siap untuk memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ada di Indonesia,” ungkap Halim.
Harapan atas Peluncuran Fitur Berbasis AI
Senada, Dr. Budi Djatmiko mengapresiasi Executive Forum SEVIMA yang bertajuk “Strategi Sukses Memastikan Keberlanjutan dan Pengembangan Kampus serta Yayasan Pendidikan”.
Menurutnya, peluncuran fitur berbasis AI ini penting karena umumnya Gen-Z tidak bisa menunggu berlama-lama untuk mendapatkan sesuatu, mereka cepat berubah baik keinginan dan cita-citanya. Ada pergeseran yang terjadi pada Gen-Z, sebagian besar dari mereka berpikir.
“Kecenderungan mahasiswa yang mudah bosan itu perlu ditangkap oleh kampus, seperti mahasiswa bisa mengikuti berbagai kursus bersertifikat yang disiapkan kampus sambil kuliah. Hasilnya sertifikat itu, jika memang mereka merasa bosan untuk melanjutkan kuliah, bisa untuk mencari pekerjaan atau berwirausaha. Jadi mereka bisa tetap bertahan di kampus,” kata Budi Djatmiko.
Ke depan, katanya menambahkan, perguruan tinggi memang tidak harus mengandalkan hanya pada banyaknya jumlah mahasiswa yang tercatat sedang kuliah, tapi juga harus mencari terobosan baru dengan memberikan peluang kursus-kursus bersertifikat yang disiapkan kampus, dan kerjasama dengan industri.
“Ini untuk mengantisipasi cara belajar Gen-Z yang cepat bosan dan tidak sabaran. Harapannya melalui berbagai tawaran itu, mahasiswa mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kampus, sehingga bisa memberikan pemasukan baru bagi kampus, serta meningkatkan skill. Karena lulusan perguruan tinggi saat memasuki dunia kerja yang ditanya memiliki kompetensi apa, bisa melakukan apa, bukan lagi lulusan dari program studi apa,” pungkas Budi Djatmiko. (Nayla).