Mediasi Panas Bale Hinggil: Media Dilarang, Warga Gugat Keadilan

Kabarphatas.com, Surabaya – Mediasi antara developer dan penghuni Bale Hinggil kembali digelar di Ruang Sinergi DPRKPP Surabaya pada Jumat (13/12/2024).

Pertemuan yang dimediasi oleh Sugeng dari pihak DPRKPP ini bertujuan untuk mencari solusi atas konflik terkait kenaikan service charge dan pemutusan akses, namun kembali menemui jalan buntu.

Awal mediasi sempat memanas karena pihak developer menolak keberadaan media di dalam ruang pertemuan.

Pihak DPRKPP pun mendukung keputusan tersebut dengan alasan bahwa mediasi ini bersifat internal.

Namun, warga yang tergabung dalam Bale Hinggil Community (BHC) menentang keputusan tersebut.

“Kalau media tidak diperbolehkan meliput, ini sama saja dengan kembali ke zaman orde baru. Media adalah salah satu pilar demokrasi yang dilindungi undang-undang. Keberadaannya penting untuk memastikan pemberitaan berimbang,” tegas Kristianto, perwakilan BHC.

Mawardi, wartawan dari Beritabangsa.id, mempertanyakan kebijakan tersebut.

Senada dengan pernyataan Kristianto, bahwa media sebagai salah satu pilar demokrasi yang dalam peliputannya dilindungi undang-undang.

“Mengapa mediasi di DPRKPP ini melarang peliputan, sementara mediasi di Komisi C DPRD Surabaya memperbolehkannya? Apa bedanya?” tanyanya.

Setelah adu argumen, media akhirnya diminta keluar ruangan dengan janji akan diizinkan melakukan doorstop usai mediasi.

Namun, janji itu tidak ditepati. Pihak developer yang diwakili oleh Herry Sudibyo enggan memberikan komentar kepada media dan hanya mengangkat tangan saat dimintai keterangan.

Tidak Ada Titik Temu

Mediasi berakhir tanpa kesepakatan. Pihak warga menyatakan kesediaan untuk mengikuti kenaikan service charge jika mekanismenya dijelaskan dengan transparan, namun developer tetap bersikeras bahwa harga yang ditetapkan harus diterima tanpa proses musyawarah.

“Kami hanya ingin tahu mekanismenya. Jika mekanismenya jelas dan hasilnya masuk akal, misalnya naik dari Rp13.500 menjadi Rp15.000, kami siap membayar. Tapi yang terjadi sekarang, mereka memaksakan harga tanpa mekanisme, bahkan mengancam tetap memutus akses jika kami tidak membayar,” ujar Kristianto.

Menurut warga, ancaman pemutusan akses ini bertentangan dengan Peraturan Wali Kota Surabaya serta tidak disebutkan dalam Perjanjian Bersama Jual Beli (PBJB).

“Di PBJB tidak ada klausul yang menyatakan akses bisa diputus jika harga service charge tidak dibayar. Ini jelas tidak adil,” tambahnya.

Kristianto juga menegaskan pentingnya musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah ini.

“Kami hidup di Indonesia, di mana musyawarah mufakat adalah bagian dari budaya dan nilai hukum kita. Jika itu saja tidak dihargai, sebagai warga kecil kami hanya bisa berharap kepada undang-undang dan pemerintah untuk membela kami,” ujarnya.

Warga Bale Hinggil kini menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan konflik ini. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah melaporkan dugaan tidak disetorkannya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sudah dibayarkan warga kepada pihak developer.

“Proses hukum sudah berjalan. Kami hanya tinggal menunggu hasilnya,” ujar Kristianto.

Warga berharap pemerintah kota dapat turun tangan untuk menyelesaikan konflik ini secara adil.

“Kami hanya warga biasa yang ingin keadilan ditegakkan. Semoga ada solusi yang memihak kepada rakyat kecil,” tutup Kristianto.

Tinggalkan komentar