Gugatan Multitafsir Pasal 143 KUHAP di MK, Kepastian Hukum Jadi Sorotan

Kabarphatas.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik dalam sidang lanjutan perkara nomor 170/PUU-XXII/2024.

Gugatan yang diajukan oleh I Gusti Ngurah Agung Krisna Adi Putra ini menyoal frasa dalam Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dianggap membuka ruang multitafsir dan berdampak pada hak atas kepastian hukum warga negara.

Tim kuasa hukum pemohon, Singgih Tomi Gumilang dari SITOMGUM Law Firm, menegaskan bahwa ketidakjelasan norma tersebut melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Norma ini membuka ruang multitafsir, merugikan keadilan, dan melanggar prinsip due process of law,” ujarnya saat memberikan pernyataan dalam persidangan.

Tim kuasa hukum pemohon telah mengajukan sejumlah perbaikan dalam permohonan, yang meliputi:
– Struktur Permohonan: Penyesuaian kewenangan MK, kedudukan hukum, posita, dan petitum agar lebih terstruktur.
– Penyederhanaan Bukti: Alat bukti kini ditandai lebih sederhana, seperti P-1, P-2, dan P-3.
– Revisi Surat Kuasa: Surat kuasa telah diperbaiki untuk melengkapi dokumen yang sebelumnya dinilai kurang memadai.
– Reformulasi Argumen: Fokus pada pelanggaran hak konstitusional akibat frasa multitafsir dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

Ketua Majelis Hakim, Arsul Sani, mengapresiasi perbaikan tersebut namun menekankan pentingnya penyempurnaan teknis dokumen.

“Kami akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk diputuskan,” ungkap Arsul.

Singgih Tomi Gumilang menilai bahwa ketidakjelasan norma hukum ini tidak hanya merugikan proses peradilan tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam melindungi hak konstitusional warga negara.

“Perkara ini menjadi simbol perjuangan melawan ketidakpastian hukum yang dapat mengubah wajah sistem hukum pidana di Indonesia,” tegasnya.

Perkara ini diharapkan menjadi titik awal reformasi hukum pidana untuk menghadirkan kepastian hukum yang lebih baik. Keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan ini akan menjadi tolok ukur dalam pengembangan sistem peradilan di Indonesia.

Tinggalkan komentar