KABARPHATAS.COM, SURABAYA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud-Ristek) menetapkan penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA mulai tahun ajaran 2024/2025.
Hal ini merupakan implementasi Kurikulum Merdeka. Dengan tujuan, agar murid bisa lebih fokus membangun basis pengetahuan yang relevan dengan minat dan rencana studi lanjut.
Menanggapi kebijakan baru Kemendikbud-Ristek tersebut, Dosen Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Tuti Budirahayu, membeberkan tanggapanya.
Dia mengatakan, berbagai studi sosiologi tentang dampak penjurusan siswa SMA menunjukkan sisi negatif.
Terutama pada siswa yang dikotakkan pada jurusan IPS atau Bahasa.
“Mereka yang masuk ke jurusan IPS dan Bahasa dilabeli sebagai anak-anak nakal, bandel, dan tidak secerdas anak-anak jurusan IPA,” terangnya.
Penjurusan tersebut kemudian dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai bentuk stratifikasi atau kasta bagi siswa.
Dengan karakteristik, kecerdasan, sikap, dan perilaku yang berbeda. Konstruksi tersebut terus berlanjut hingga mereka lulus dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi maupun bekerja.
“Dari sisi dampak penjurusan yang tidak menguntungkan siswa IPS dan Bahasa, saya patut mengapresiasi kebijakan Kemendikbud-Ristek untuk menghapus penjurusan,” tambahnya.
Permasalahan pendidikan, kata Tuti, meskipun sistem penjurusan menyebabkan stigma negatif di mata, namun persoalan pendidikan yang sesungguhnya bukan hal itu.