Pada beberapa sekolah yang memiliki kualitas pendidikan memadai, penjurusan tidak menghalangi siswa dengan jurusan IPS dan Bahasa sukses di perguruan tinggi.
“Hal itu karena mereka memang benar-benar meminati jurusannya. Lalu belajar dengan baik, dan sekolah juga menyediakan fasilitas belajar serta guru-guru yang baik pula,” terang Tuti.
Persoalan yang sebenarnya muncul adalah ketika setelah lulus SMA, siswa-siswa dari jurusan IPA lebih leluasa memasuki jurusan-jurusan yang tidak hanya ditujukan untuk mereka.
Namun juga pada jurusan-jurusan untuk siswa IPS dan Bahasa.
“Terjadi diskriminasi pada siswa IPS dan Bahasa karena dianggap tidak pandai dalam berlogika, matematika atau ilmu eksakta. Inilah yang kemudian menyebabkan siswa IPS dan Bahasa diletakkan pada strata kedua atau ketiga setelah siswa jurusan IPA,” jelas Tuti.
Arah Pendidikan Indonesia lanjut Tuti, agar kebijakan baru Kemendikbud-Ristek mengenai penghapusan sistem jurusan berjalan baik, implementasinya harus dijalankan matang.
Berbagai pihak, mulai dari sekolah, pemerintah, siswa, dan orang tua harus turut mendukung dan berpartisipasi.
“Sepengamatan saya tentang sistem pendidikan dan pembelajaran yang dinamakan kurikulum merdeka, guru cenderung mendapat beban lebih berat. Sebaliknya, orang tua masih minim pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan pendidikan baru di era Menteri Nadiem Makarim,” terangnya.
Akibat dari hal tersebut adalah sering terjadi kesalahpahaman antara sekolah dan orang tua. Sehingga persiapan yang matang harus dilakukan agar implementasinya memajukan pendidikan Indonesia. (Nayla).